Suaramediajabar, Jakarta – Perubahan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan kini memicu perdebatan sengit di kalangan akademisi dan praktisi hukum di Indonesia. Beberapa pihak mengkhawatirkan bahwa revisi ini berpotensi melemahkan sistem hukum nasional dan membuka celah bagi penyalahgunaan wewenang dalam institusi kejaksaan.
Isu ini menjadi fokus pembahasan dalam diskusi bertajuk “Kejaksaan Superbody dan Ancaman Kekuasaan Absolut” yang diadakan di Gedung Theater Prof. Qodri Azizy ISDB, Fakultas Syariah & Hukum, UIN Walisongo, Semarang, beberapa waktu lalu. Acara ini menghadirkan sejumlah pakar, di antaranya Guru Besar Ilmu Hukum UIN Walisongo, Achmad Gunaryo, Ketua PKY Jateng dan Penghubung Komisi Yudisial, Muhammad Farhan, serta advokat sekaligus praktisi hukum, Bambang Riyanto.
Dalam diskusi tersebut, para narasumber menyoroti beberapa ketentuan dalam revisi UU Kejaksaan yang dianggap dapat mengancam prinsip independensi serta akuntabilitas dalam penegakan hukum. Bambang Riyanto menekankan pentingnya mengkaji ulang Pasal 8 ayat 5, yang menyebutkan bahwa pemeriksaan terhadap jaksa harus mendapatkan izin dari Jaksa Agung. “Aturan ini berpotensi menghambat transparansi dan menurunkan akuntabilitas kejaksaan. Ini bisa berdampak pada independensi dan akuntabilitas dalam proses hukum,” tegasnya.
Selain itu, kekhawatiran juga disampaikan mengenai Pasal 11A ayat 2 yang mengatur tentang rangkap jabatan, yang dinilai bisa memicu konflik kepentingan di kalangan jaksa. Pasal 30B huruf ‘b’, yang memberikan wewenang kepada Kejaksaan untuk menciptakan kondisi yang mendukung pelaksanaan pembangunan, dianggap terlalu luas dan rentan disalahgunakan.
Tak kalah krusial, Pasal 30B huruf ‘e’ yang mengatur pengawasan terhadap multimedia, menuai sorotan karena berpotensi membatasi kebebasan berekspresi di ruang digital. Polemik juga mencuat sehubungan dengan perluasan kewenangan kejaksaan, termasuk pemberian senjata api kepada jaksa untuk keperluan perlindungan diri, yang dianggap berisiko jika tidak diimbangi dengan mekanisme kontrol yang ketat.
Di sisi lain, Kejaksaan Agung berusaha menanggapi kritik dengan menjelaskan bahwa revisi UU Kejaksaan bertujuan memperkuat peran institusi dalam mengendalikan perkara atau dominus litis. Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, menyatakan bahwa konsep dominus litis merupakan norma universal di berbagai negara. “Apakah kita ingin meninggalkan prinsip fundamental ini?” ujarnya di Kompleks Kejagung, Jakarta, Februari lalu.
Harli mengajak masyarakat untuk menelaah revisi UU Kejaksaan secara objektif dan tidak mudah terpengaruh oleh narasi yang merugikan institusi. Meskipun Kejaksaan Agung menegaskan bahwa revisi ini bertujuan memperkuat sistem hukum, berbagai pihak tetap mendesak perlunya kajian lebih mendalam agar perubahan yang dilakukan tidak mengancam prinsip keadilan dan demokrasi.
Debat ini tentunya akan terus berlangsung, seiring dengan harapan masyarakat akan reformasi yang nyata di sistem penegakan hukum Indonesia.